Ironi, Solidaritas, dan Politik Liberalisme dalam Pandangan Richard Rorty

Andhita Jasmine
4 min readDec 2, 2020

“In my utopia, human solidarity would be seen not as a fact to be recognised by clearing away “prejudice” or burrowing down to previously hidden depths but, rather, as a goal to be achieved.

- Richard Rorty dalam Contingency, Irony, and Solidarity.

Liberalisme adalah sebuah ideologi berlandaskan kebebasan dan persamaan hak serta mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Lahirnya istilah ini mengundang pro dan kontra masyarakat yang terlebih banyak yang menyalahartikan dan memandang sebelah mata kaum liberal. Namun tidak bagi Richard Rorty, tokoh filsuf abad ke-20 pendiri neo-pragmatisme, ia berusaha menepis persoalan yang ada dengan menghadirkan konsep dari pemikirannya.

Richard McKay Rorty. Sumber : The New Yorker

Siapa itu Richard Rorty?

Richard McKay Rorty lahir di New York City, 4 Oktober 1931 dan wafat pada 8 Juni 2007 di Palo Alto, California. Rorty adalah filsuf pragmatis Amerika dan intelektual publik yang terkenal karena kritiknya yang luas dari konsepsi modern filsafat sebagai usaha semi-ilmiah yang bertujuan mencapai kepastian dan kebenaran obyektif. Dalam politik ia menentang program-program baik kiri maupun kanan yang mendukung apa yang ia gambarkan sebagai “liberalisme borjuis” yang melioratif dan reformis.

Rorty memiliki pandangan yang sepertinya lebih dapat dikatakan berkonteks negatif ketimbang positif. Selama ia berkecimpung di dunia filosofi, ia banyak mengkritik tentang pandangan yang telah ada. Contohnya dalam pandangan epistemologi, ia mengkritik tentang fondasionalisme, yaitu pandangan bahwa semua pengetahuan dapat didasarkan, atau dibenarkan, dalam serangkaian pernyataan dasar yang tidak membutuhkan pembenaran. Dalam filosofi bahasa, Rorty menentang ide bahwa pernyataan dapat dinilai dengan “benar” atau “salah”, ia mengkritik seharusnya itu dikatakan dengan arti menarik selain berguna atau berhasil dalam praktik sosial yang luas. Ia juga melontarkan kritik pada representasi, yaitu pandangan bahwa fungsi utama bahasa adalah mewakilkan atau merepresentasikan secara objektif gambaran potongan dari realitas yang eksis. Akhirnya, dalam metafisika ia menolak pandangan yang sejak lama menjadi perdebatan yaitu baik realisme dan antirealisme, atau idealisme, sebagai produk dari asumsi representasionalis yang salah tentang bahasa.

Hasil Karya Richard Rorty

Pada tahun 1989, Richard Rorty menggebrak dunia pemikiran filsafat dengan melahirkan buku yang berjudul Contingency, Irony, and Solidarity yang merupakan buku ketiganya. Didalam buku ini terdapat pemikiran Rorty yang beranggapan bahwa tidak sedikit dari pemikir besar telah memungkinkan masyarakat untuk melihat diri mereka sendiri sebagai kemungkinan historis, bukan sebagai ekspresi yang mendasari, sifat ahistoris manusia, atau sebagai realisasi tujuan suprahistoris. Perspektif ironis tentang kondisi manusia ini berharga tetapi tidak dapat memajukan tujuan sosial dan politik Liberalisme.

Rorty turut memperkenalkan konsep pemikirannya tentang manusia ironis liberal. Orang yang menyadari bahwa pandangan dunia, tidak terkecuali terkait kepercayaan dan keyakinannya (bahkan) yang paling mendalam bersifat kebetulan dan tidak bersifat mutlak, itulah yang oleh Rorty disebut manusia ironis. Rorty merekomendasikan agar sikap ironis-liberal mempunyai relevansi dalam skala global dan bersifat universal.

Pemikiran Richard Rorty

Manusia Ironis

Menurut Richard Rorty, manusia ironis adalah orang yang menyadari bahwa pandangan-pandangan dunia selalu bersifat kebetulan dan tidak mempunyai kepastian mutlak. Tidak menutup kemungkinan bahwa manusia ironis ini sulit untuk bersandar pada teori-teori ilmiah maupun non-ilmiah. Dalam bukunya Contingency, Irony, and Solidarity, manusia ironis diartikan sebagai ia yang berani menerima kenyataan bahwa kepercayaan dan keinginannya yang paling sentral pun tidak mempunyai kepastian.

Namun, orang yang ironis tidak berarti bahwa dia tidak dapat benar-benar mempercayai sesuatu, sepenuhnya skeptis terhadap pandangan-pandangan, dan bukan orang yang sudah pasti tidak memiliki keyakinan. Akan tetapi, yang ingin ditekankan Rorty di sini adalah bahwa orang yang ironis adalah seseorang yang dapat mempercayai sesuatu sejalan dengan kebersediaan mengakui bahwa orang lain mungkin memiliki pendapat dan keyakinan yang berbeda.

Manusia Metafisik

Kebalikan dari manusia ironis disebut Rorty ’manusia metafisik’ (the metaphysician). Manusia metafisik adalah mereka yang meyakini bahwa hakikat memiliki makna yang mutlak dan obyektif. Orang-orang metafisika percaya bahwa segala sesuatu memiliki sifat objektifnya, dan ilmu filsafat memiliki peran tanggung jawab untuk menemukannya. Pandangan dunia, menurut keyakinan moral dan agamanya, bukan hanya soal kosa kata, tapi juga soal kebenaran objektif. Hanya satu orang yang benar, yang lainnya mutlak dan pasti salah.

Manusia Liberal yang Ironis

Masyarakat liberal adalah masyarakat dengan keputusan-keputusan yang diambil secara adil dan tanpa paksaan pihak lain. Manusia ironis adalah yang berlaku ironis terhadap diri sendiri dan bukan terhadap orang lain. Karena itu, dia tidak menganggap keyakinannya sebagai kebenaran yang mutlak, dia juga tidak akan merugikan orang lain dengan meremehkan pandangan tentang dunia dan keyakinannya. Ia bersedia mengakui orang lain dengan sepenuhnya. Dalam paham liberal atau masyarakat bebas, orang tidak perlu takut untuk mengatakan dan mengutarakan apa yang mereka pikirkan akan bersinggungan dengan pandangan pihak lain, karena memang itulah letak keistimewaan dari paham liberalisme.

Membangkitkan Solidaritas

Dalam karyanya, Rorty mengungkapkan bahwa solidaritas antarmanusia tidak ditemukan begitu saja melalui refleksi, melainkan melalui proses penciptaan oleh manusia itu sendiri. Solidaritas tercipta dengan meningkatkan kepekaan kita terhadap kenyataan rasa sakit dan penghinaan orang lain yang tidak kita kenal, atau dengan kata lain berempati. Kepekaan itu membuat lebih sulit untuk menyingkirkan orang yang berbeda dari diri sendiri.

Rorty berpendapat bahwa filsafat sebagai ilmu disiplin ketat berpikir teoretis tidak banyak membantu dalam membangun solidaritas yang memang notabene merupakan persoalan sosial dan kepekaan manusia yang tidak bisa melulu diukur dengan teori. Maka dari itu dalam upaya membangkitkan solidaritas antarmanusia, Rorty menggunakan instrumen seni sebagai alat bantu untuk mewujudkan misinya. Seni menurutnya dapat membantu melalui kajian sastra yang dapat menjadi media untuk menyalurkan perasaan dan saling menuangkan kepekaan untuk solidaritas bersama. Ia pun lebih mengandalkan peran para penyair, penulis, hingga wartawan untuk ikut serta menyerukan aksi sosialnya.

Dalam membangkitkan solidaritas yang nyata, adalah tantangan bagaimana manusia memposisikan diri bersama orang-orang yang bukan dalam “golongan kita”, agar bisa ikut merasakan apa yang mereka rasakan, dan perjalanan melampaui batasan-batasan ketat terkait perbedaan, prinsip, dan teori demi rasa kemanusiaan.

--

--